PRT Berjuang Mendapat Perlindungan dan Pengakuan sebagai Pekerja

Oleh Jumiyem*

Pergulatan Batin

Panggil saja saya Lek Jum, penggalan dari nama pemberian orang tua “Jumiyem”. Saat ini umur saya 49 tahun. Saya anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Ahmat Mustam alias Jumari (almarhum) dan Juminten (almarhumah), di sebuah desa pinggir hutan wilayah Bantul, Yogyakarta.

Saya tinggal di desa tandus dan gersang di pinggir hutan. Saat itu, kondisi sosial di desa kami tidak mendukung jika ingin melanjutkan sekolah lebih tinggi, apalagi untuk kaum perempuan. Mayoritas perempuan saat itu, sekolah hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Dari ratusan perempuan di desa kami, perempuan yang dapat melanjutkan SMP dan SMA apalagi sampai Perguruan Tinggi dapat dihitung dengan jari tangan.

Di wilayah kami, mayoritas masyarakat bertani. Dengan cara bertani tadah hujan alias menanam hanya di saat musim hujan. Jika musim kemarau sawah tidak dapat ditanami dan sumber mata air mengering. Sumber mata air adanya di sungai. Jika ada air di sumber mata air, hanya cukup untuk mandi dan minum. Itu pun harus antri panjang di pagi atau sore hari ke kali. Di sungai-sungai hanya terlihat bebatuan putih karena kering.

Orang tua saya, petani. Di sela-sela bertani, mereka pengrajin mebel dengan membuat alat-alat rumah tangga: ada meja, kursi, almari, pintu, jendela, tempat tidur, rak piring dan lain-lain. Mereka membuat perabotan rumah tangga dari bahan kayu milik sendiri yang ditebang dari kebun dekat rumah maupun ladang yang jaraknya jauh dari rumah. Semua itu dikerjakan dengan menggunakan tenaga manusia.

Pohon ditebang. Kemudian diangkut dengan cara dipanggul ke halaman rumah. Kayu diletakkan di tempat yang lebih tinggi dari tubuh manusia. Setelah itu kayu dipotong menggunakan gergaji berukuran besar dan panjang. Untuk menggergaji kayu besar itu, satu orang berdiri di atas sambil memegang gergaji bagian atas dan menahan kayu agar tidak bergerak. Sementara orang yang di bawah menarik gergaji ke bawah sambil memperhatikan garis pada kayu agar tidak membelok dari garis yang sudah dibuat. Setelah itu, kaya dibentuk sebagai bahan peralatan rumah tangga. Proses pembuatan meja kursi itu membutuhkan waktu sekitar satu bulan.

Setelah berhasil dibentuk dan menjadi peralatan rumah tangga, akan ada pembeli datang ke rumah untuk menjual barang tersebut ke kota. Pembayarannya tidak langsung. Tapi harus menunggu barang tersebut laku di kota. Tidak jarang harus menunggu beberapa hari karena harus menunggu uang hasil penjualan barang tersebut.

Kondisi yang demikian ini membuat saya berpikir, bagaimana saya bisa sedikit membantu meringankan biaya hidup keluarga. Namun belum tahu apa yang bisa saya lakukan. Yah! Saat itu, saya masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Suatu ketika, ketika sedang mencuci piring di rumah terbesit pertanyaan, “Apa saya jadi tukang cuci piring saja ya agar dapat upah? tapi di mana?” Pertanyaan itu berlalu begitu saja.

Lulus SMP, saya mulai gelisah. Tidak tahu harus berbuat apa. Melanjutkan sekolah lagi tentu saja tidak mungkin. Selain keterbatasan ekonomi keluarga, saya masih memiliki dua adik yang masih sekolah. Keduanya membutuhkan perhatian dan biaya lebih besar. “Apakah menikah? usia saya masih sangat kecil. Tapi teman-teman saya ada yang menikah, bahkan ada yang menikah setelah lulus SD,” begitu pergulatan batin saya.

Saat itu, saya belum menemukan jawaban. Saya berada di rumah tanpa penghasilan dan hanya membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga alakadarnya. Tenaga saya dibutuhkan ketika Ramak, panggilan untuk bapak, dan Simbok, panggilan untuk ibu, sibuk mengurus pertanian kala musim kemarau belum datang; atau ketika mereka sibuk membuat peralatan rumah tangga tadi.

Sebenarnya, ketika membuat peralatan rumah tangga, Simbok punya peran. Dia ikut menggergaji dan menyiapkan bahan-bahan pembuatan meja, kursi dan lain-lainnya. Saya pribadi, salut dan bangga kepada kedua orang tua saya yang tidak pernah mengeluh. Mereka juga selalu rukun membina dan rumah tangga. Keduanya saling menjaga kesetiaannya. Walaupun keduanya menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka.

Menjadi PRT

Di tengah kegalauan hati dan melakukan pekerjaan sekadarnya, di suatu pagi datang seorang perempuan (Cpls) ke rumah. Perempuan itu merupakan ibu dari salah satu teman alumni SD, yang sudah lama merantau di kota. Dia menginformasikan kalau di tempat kerjanya ada lowongan pekerjaan dan bermaksud mengajak saya untuk bekerja bersamanya, yaitu di sebuah toko bangunan di Kota Yogyakarta.

Dengan pertimbangan agar segera mendapatkan pekerjaan dan bisa menghasilkan uang, saya meminta izin ke Ramak dan Simbok untuk pergi ke kota bersama Cpls tadi. Sebenarnya Ramak dan Simbok menyarankan untuk di rumah saja dan membantu pekerjaan mereka. Tapi saya merajuk. Akhirnya mereka melepaskan saya meninggalkan rumah.

Saya masih ingat betul, beberapa jam sebelum keberangkatan. Ketika itu malam hari. Sembari menyiapkan kebutuhan keberangkatan, hati saya berdebar-debar karena akan meninggalkan rumah dan jauh dari orang tua. Saya menyiapkan pakaian secukupnya, alat mandi, alat ibadah dan uang yang jumlahnya tidak banyak.

Malam pun berlalu. Pagi sekali saya bersama Cpls bersiap menuju Kota Yogyakarta. Sebelum pergi saya mohon diri. Ramak dan Simbok mengantarkan saya dengan genangan air mata dan dengan doa keselamatan. Bersama Cpls saya berjalan kaki sejauh 4 kilometer menuju bus yang akan mengantarkan kami ke Yogyakarta.

Singkat cerita, saya bekerja di kota. Pengalaman pertama bekerja di kota, kurang begitu menyenangkan. Awal yang diinformasikan kerja di toko bangunan, tapi yang saya lakukan tidak hanya jaga toko. Tapi, harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga pemberi kerja/majikan juga, seperti: mencuci, menyetrika, memasak dan mengepel rumah.

Waktu kerja dimulai sebelum fajar. Bangun tidur, saya harus merebus air, merendam pakaian, menyapu, mengepel dan memasak. Ketika matahari terbit, saya menjemur pakaian. Sambil menunggu pakaian kering, saya bergabung dengan buruh lain di toko bangunan. Toko bangunan itu letaknya di bagian rumah depan atau halaman utama. Jika saya telat bergabung, majikan pasti memanggil saya dengan cara berteriak-teriak.

Sebagai orang baru, saya belum mengetahui semua letak barang-barang dagangan, entah itu yang di dalam etalase, rak barang, loteng dan lain sebagainya. Karena itu, saya harus mencoba menghafal semua letak barang tersebut sekaligus harganya. Mengingat jenis dan letak barang yang begitu banyak sekaligus harganya bukan perkara mudah. Apalagi barang-barang tersebut cukup asing bagi saya.

Ketika datang pembeli dan saya yang melayani, tak jarang saya menanyakan ulang letak barang tersebut ke majikan. Pertanyaan saya bukannya dijawab, malah saya dimarahi, dibentak dan disebut bodoh. Itu belum seberapa. Ketika datang waktu shalat, saya izin untuk melaksanakan ibadah. Sekilas majikan mengiyakan dan saya akan terburu-buru menuju tempat shalat. Tapi, ketika tubuh saya tiba di tempat salat, suara nyaring majikan akan terdengar, “Nduk………!” Artinya, saya harus secepatnya berada di toko.

Setiap hari saya diteriaki dan mendengar umpatan. Saya tidak pernah merasa nyaman bekerja. Dada terasa sesak. Muncul perasaan marah, kesal dan sedih. Di kala demikian, saya selalu teringat keluarga di rumah, yang memperlakukan saya dengan sangat baik. Tapi, bukan hanya saya yang diperlakukan demikian. Teman-teman lain pun diperlakukan sama. Jika tidak salah ingat, teman saya di toko ada lima orang. Di tempat tersebut saya hanya bertahan dua minggu. Saya menyerah. Saya memutuskan mengundurkan diri alias keluar kerja. Saya adalah orang kedua yang keluar dari toko tersebut. Sebelumnya, seorang teman lain sudah lebih dulu mengundurkan diri. Saat saya menyampaikan ke majikan mengundurkan diri tidak sulit. Saya pun diperbolehkan pulang.

Pagi itu saya bersiap pulang. Terlebih dahulu saya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, yang biasa saya kerjakan. Dengan membawa tas berisi pakaian dan barang- barang lain yang saya bawa dari rumah, saya menuju toko, di mana majikan dan teman-teman kerja melayani pembeli. Saya bermaksud pamit. Tapi, apa reaksi majikan saat itu? Dengan nada tinggi dan sorot mata yang menuduh, dia memerintahkan saya mengeluarkan seluruh isi tas dan memeriksa satu per satu barang-barang pribadi saya.

Majikan menggeledah isi tas saya di depan teman-teman saya dan pembeli. Saya dipermalukan di depan umum, seperti pesakitan yang mendapat hukuman di muka umum. Sembari menahan rasa sakit hati, batin saya berucap, “Astagfirullahaladzim.” Lagi-lagi saya teringat wajah kedua orang tua saya di kampung. Seandainya mereka mengetahui anaknya diperlukan rendah, mereka akan sangat marah.

Dari tas saya yang diobrak-abrik, majikan hanya menemukan pakaian, peralatan mandi dan alat ibadah saya. Mungkin majikan mengira saya akan membawa barang-barang milik majikan. Ini adalah pengalaman buruk buat saya. Sebagai PRT ternyata mudah sekali kami dicurigai dan dituduh sebagai pencuri. Anehnya, ternyata, upah saya selama bekerja selama dua minggu pun tidak dibayarkan.

Dari Majikan ke Majikan

Saya melupakan mengenai upah yang tidak dibayarkan. Saya hanya memikirkan secepatnya keluar dan menjauh dari tempat tersebut. Begitulah, saya merasa sedikit lega setelah keluar dari tempat itu. Apakah saya langsung pulang kampung? tentu saja tidak. Tetapi saya ke rumah teman yang sebelumnya kenal di toko bangunan itu.

Teman saya tersebut adalah orang yang telah lebih dulu keluar dari toko bangunan tersebut. Tujuan saya menemui teman itu adalah untuk mencoba mencari kerja lagi yang menghasilkan uang. Karena saya tidak mungkin pulang dalam keadaan tidak membawa apa-apa. Lagi pula, saya tidak mau orang tua mengetahui kesulitan yang saya alami.

Tidak menunggu lama, kurang lebih tiga hari, kakak dari teman saya tadi mengabarkan mengenai lowongan kerja. Katanya, ada seorang pemberi kerja yang sedang mencari pekerja rumah tangga (PRT) untuk mengasuh anaknya. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah teman saya itu. Tidak berpikir panjang, saya pun menyatakan kebersediaan saya untuk bekerja mengasuh anak tersebut.

Saya diajak menemui pemberi kerja yang membutuhkan PRT tersebut. Sore hari, kami bertandang ke rumah mereka agar dapat bertemu dengan majikan laki-laki dan perempuan.

Saya pun tiba di rumah majikan baru. Setelah berkenalan, saya diberikan penjelasan mengenai tugas-tugas yang harus dikerjakan sebagai PRT. Di antara tugas saya adalah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci pakaian dan bersih-bersih rumah; dan mengasuh dua anak mereka.

Anak pertama masuk sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan anak kedua berusia sekitar satu tahun dan sedang belajar jalan. Tugas saya mengasuh anak, mengantar dan menunggu anak di sekolah TK. Jam 10.00 pagi anak tersebut keluar dari sekolah.

Mulailah saya bekerja di rumah majikan baru. Tiap hari, kecuali hari libur, saya menemani anak majikan sekolah TK. Dari mengantar, menunggu dan memastikan anak majikan tiba di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Untuk keperluan mengantar dan pulang sekolah, biasanya menggunakan becak. Becak merupakan alat transportasi roda tiga, yang merupakan salah satu transportasi khas Yogyakarta hingga sekarang. Berbeda dengan transportasi pada umumnya, sopir becak di belakang penumpang. Dulu, becak digerakkan menggunakan tenaga manusia dengan cara dikayuh. Sekarang, ada pula jenis becak yang menggunakan tenaga mesin, yang disebut dengan becak motor.

Ketika tiba di rumah, setelah mengurus anak TK, saya mengurus adiknya, yang sedang belajar berjalan kaki. Saya menemani bermain, belajar, menonton televisi, menyuapi makan, memandikan dan semua pekerjaan-pekerjaan lain yang biasa dilakukan untuk mengurus anak-anak.

Di waktu siang, anak-anak diminta untuk tidur siang. Mengajak anak-anak tidur siang tidak mudah. Butuh tenaga ekstra untuk membujuk anak-anak bersedia tidur siang. Setelah anak-anak tidur siang, saya melakukan pekerjaan lain, seperti mengangkat jemuran dan menyetrika pakaian.

Menjelang malam, majikan berada di rumah. Setelah mereka beraktivitas dari pekerjaan mereka. Meskipun ada orang tuanya, anak-anak bermain bersama saya. Sekitar pukul 9 malam anak-anak sudah tidur. Pekerjaan saya belum selesai. Saya harus mencuci piring-piring kotor bekas makan malam dan membereskan pekerjaan-pekerjaan dapur lainnya. Semua pekerjaan harian selesai, sekitar pukul 11 malam.

Begitulah, saya bekerja dari pagi buta hingga jelang tengah malam. Tanpa hari libur!

Pukul 11 malam saya baru benar-benar mengistirahatkan badan dengan tidur. Tempat tidur saya, dipan, terletak di dekat meja makan dan tidak jauh dari kamar mandi. Antara meja makan dan dipan hanya dibatasi dengan spanduk bekas. Ukuran dipan tersebut hanya cukup menampung tubuh saya. Tak jarang, tengah malam saya terbangun karena ada orang yang ke kamar mandi atau mengambil air minum di dapur. Maklum karena dari atas dipan masih bisa melihat dan dilihat orang.

Apakah saya bisa bertahan lama di tempat itu? Tidak! Saya bertahan di tempat kerja itu hanya tiga bulan. Entah karena apa, saya juga tidak tahu pasti. Mungkin karena usia saya yang masih remaja. Kala itu, umur saya kurang lebih 15 tahun. Mungkin juga karena beban kerja yang terlalu berat.

Yang jelas, saat itu, saya ingin segera keluar dan pulang. Tidak menunggu lama, saya memberanikan diri untuk mengungkapkan niat saya kepada majikan. Majikan yang laki-laki waktu itu berkata, “Kalau kamu bisa betah kerja di sini akan saya biayai sekolah,” bujuknya.

Niat saya sudah bulat. Saya tidak tergiur. “Terimakasih Pak, Bu! Tapi, maaf, saya tetap izin keluar!”

Saya pun diizinkan keluar dari pekerjaan. Entah apa yang dipikirkan majikan saya. Tapi, yang saya rasakan; saya merasa lega diizinkan keluar dari pekerjaan. Saya pun segera berbenah. Membereskan barang-barang pribadi.

Saya dijemput oleh kakak saya yang laki-laki. Kali ini saya pulang ke rumah orang tua. Saya pun merasa senang dapat bertemu Ramak dan Simbok. Saya pun mengatakan kepada mereka, jika saya ingin di rumah dulu. Ramak dan Simbok menyambut saya dengan gembira.

Apakah saya juga tinggal di rumah bisa lebih lama? Tidak juga. Setelah beberapa bulan di rumah, saya merasa gelisah. Saya merasa menjadi beban Ramak dan Simbok. Tentu saja itu hanya perasaan saya. Saya yakin, Ramak dan Simbok tidak pernah merasa keberatan dengan kehadiran saya.

Sekali waktu, saya bertemu dengan teman waktu SD, yang pulang kampung setelah bekerja di kota. Ia pun mengajak saya bekerja sebagai PRT di kota. Saya pun menyanggupinya. Tapi, lagi-lagi, saya tidak bertahan lama, tidak sampai satu bulan saya sudah izin keluar dari pekerjaan.

Mencuci, Menyetrika dan Menjaga Toko

Begitulah perjalanan menjadi PRT. Saya mulai bekerja sebagai PRT sekitar 1989. Wilayah kerja saya di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Selama menjadi PRT, saya terbiasa gonta-ganti majikan. Gonta-ganti majikan itu, bukan karena saya manja. Tapi secara naluriah, sebagai manusia, jenis pekerjaan yang saya geluti sebagai PRT sangat tidak nyaman; jam kerja panjang dan beban kerja yang berat.

Setelah dipikir berulang, alasan sering ganti majikan itu mungkin juga karena adanya perlakuan yang tidak baik dari majikan. Karena setiap kerja, saya kerap mengalami ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Saya mengalami kekerasan psikis, biasanya dibentak, didiamkan majikan tanpa tahu sebabnya, pernah juga mengalami kekerasan seksual oleh majikan laki-laki.

Selain itu beban dan tanggung jawab pekerjaan sangat besar. Di rumah majikan saya mengerjakan semua jenis pekerjaan. Pukul 4.30 pagi, saya sudah berada di dapur. Melakukan berbagai aktivitas dari mencuci perabotan rumah tangga hingga pakaian. Ketika matahari mulai terbit saya mengurus anak majikan, mengepel rumah, dan semua jenis pekerjaan perawatan rumah. Sekitar pukul 10.00 atau 11.00 malam, pekerjaan saya selesai.

Begitulah rutinitas saya sebagai PRT. Beban pekerjaan bertambah ketika majikan tidak berada di rumah. Secara otomatis saya bertanggung jawab terhadap seisi rumah. Jika majikan pulang larut malam, saya pun harus siap sedia membukakan pintu. Kadang, majikan pun meminta disiapkan nasi goreng atau mi.

Di waktu lain, saya pernah menjadi PRT, sekaligus sebagai penjaga toko Sembako. Saya harus bangun pukul 4.00 pagi. Semua pekerjaan rumah harus selesai dengan cepat. Sekitar pukul 9.00 pagi saya membuka toko. Tak jarang, karena belum sempat memasak, harus menjaga toko sambil memasak.

Pukul 9.00 malam toko tutup. Tapi saya tidak dapat langsung beristirahat. Saya harus membersihkan toko beserta barang-barangnya. Setelah menyelesaikan pekerjaan di toko, saya bergegas ke ruang dapur. Saya harus mencuci peralatan masak. Total jam kerja sebagai PRT dan penjaga toko dari pukul 4.00 pagi hingga pukul 12.00 malam. Saya hanya memiliki waktu istirahat hanya 4 jam.

Kadang, setelah menyelesaikan pekerjaan dapur pun ada pekerjaan tambahan. Biasanya majikan minta dipijat atau dikerokin. “Mbak, nanti ibu minta tolong dikerokin ya!” Saya hanya menjawab, “Iya, Bu.” Meskipun badan saya terasa remuk.

Dari seluruh pekerjaan sebagai PRT, upah saya sangat kecil. Hampir seluruh majikan tidak memberikan waktu libur. Kalau Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri saya hanya libur tiga hari. Biasanya kalau Lebaran ada Tunjangan Hari Raya (THR), tapi saya tidak pernah mendapatkannya.

Itulah kondisi-kondisi yang mendorong saya sering keluar kerja atau gonta-ganti majikan. Jika dihitung, ada sekitar sepuluh kali ganti majikan. Selain kerja sebagai PRT, pernah juga bekerja di minimarket dan buka warung makan sendiri. Sebagai PRT, seringkali bergantung pada belas kasih majikan. Biasanya, sebagian PRT menyebutnya dengan, “Untung majikannya baik.” Hal itu menandakan, jika PRT tidak mendapat perlindungan hukum.

Sebenarnya, ketidaknyamanan dalam bekerja tidak semata datang dari majikan. Kadang muncul juga dari teman. Ada teman yang mengolok-olok karena bekerja sebagai PRT. “Bekerja kok di rumah tangga orang, kerja apa itu? Mendingan di rumah sendiri.” “Kalau mau kerja ya di toko, pabrik atau perusahaan gitu lho. Kalau saya sih tidak mau kalau kerja seperti itu, Jum.” Karena begitu, saya pernah, bahkan sering menjawab ‘kerja di toko atau jaga warung makan’, ketika mendapatkan pertanyaan ‘kerja di mana?’

Meskipun selama bekerja sebagai PRT itu mengalami hal-hal yang tidak mengenakan dan ketidaknyamanan karena situasi kerja yang sangat tidak layak, namun saya merasakan kebahagiaan juga. Mungkin, bagi orang lain, kebahagiaan saya dapat dianggap biasa–biasa saja. Bagaimana pun, saya merasa senang dapat bekerja sebagai PRT karena dapat membantu meringankan pengeluaran orang tua. Saya pun dapat bertemu dengan teman-teman PRT lain. Nah, bersama PRT lain, kami sering bercerita mengenai situasi kerja masing-masing, membuat acara bersama seperti jalan-jalan, lotisan/membuat dan makan lotis bersama, dan belajar membaca al-Qur’an di masjid dan warga sekitar tempat kerja dan lainnya.

Sebenarnya, kesempatan belajar al-Quran karena kebetulan saja mendapat majikan yang relatif baik. Majikan tersebut memberikan saya kesempatan untuk belajar al-Qur’an. Dia memberikan kebebasan saya untuk mengembangkan kemampuan saya. Tapi, kalau dari segi upah, beban kerja dan jam kerja masih sama dengan majikan yang lainnya.

Dengan kesempatan itu pula, saya menyampaikan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA). Harapan melanjutkan sekolah tersebut, sebenarnya, sudah tersimpan lama. Dan, sebenarnya, keinginan sekolah tersebut, salah satu alasan kuat saya merantau ke kota.

Memang, ketika lulus SMP, saya membayangkan bisa sekolah SMA. Tapi, karena kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, saya mengurungkan niat sekolah tersebut. Akhirnya, bersyukur saya panjatkan kepada Tuhan karena ternyata majikan mendukung, baik majikan laki-laki maupun perempuan. Majikan laki-laki menyambut baik keinginan saya tersebut, bahkan dia bercerita pernah mengalami hal yang sama, yaitu kerja ikut orang sambil sekolah SMA.

Akhirnya, saya mendaftar sebagai peserta didik di salah satu sekolah di Kota Yogyakarta. Saya pun menyampaikan kabar baik tersebut ke Ramak dan Simbok. Mereka pun mendukung. Dengan gaji yang saya peroleh tiap bulan, saya bisa melunasi biaya-biaya sekolah selama tiga tahun dengan lancar.

Akhirnya, saya lulus sekolah. Saya pun masih bekerja di majikan tersebut selama setahun. Saat itu, saya berpikir untuk mengundurkan diri. Tapi muncul perasaan tidak enak. Tapi, akhirnya, saya keluar dari tempat kerja tersebut ketika momen Idulfitri. Momentum Lebaran saya pergunakan untuk minta izin keluar kerja, dan majikan pun tidak keberatan.

Saya sudah berada di kampung sehari sebelum Hari Raya Idulfitri. Saya pun mengatakan kepada mereka, jika saya telah lulus sekolah SMA, sekaligus sudah keluar kerja. Orang tua pun tampak tidak keberatan dengan pilihan saya.

Apakah setelah keluar dari majikan tadi saya berhenti kerja jadi PRT? Tidak juga. Saya tetap menekuni profesi ini, tapi dengan tempat kerja yang berbeda.

Pernah juga sebelumnya saya dan adik saya mencoba membuka warung soto di tempat kakak, di Sleman. Tapi hanya bertahan sekitar tiga hingga enam bulan karena sepi pembeli.

Sekolah PRT

Pada 2003, saya bermain ke salah satu teman saya, yang sama-sama PRT. Namanya, Tari. Dia kerja di wilayah Bantul. Kami pernah sama-sama bekerja di perumahan yang sama. Dari Tari saya diperkenalkan dengan sekolah PRT dan Serikat PRT Tunas Mulia Yogyakarta.

Tari bercerita kalau sekolahnya itu gratis dan banyak teman PRT. Sekolah PRT itu yang diinisiasi dan didirikan oleh Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) dan Serikat PRT itu memberikan pendidikan terhadap PRT, calon PRT ataupun mantan PRT.

Awalnya, saya ragu dengan sekolah dan Serikat PRT ini. Meskipun Tari sudah menjelaskan secara panjang lebar. Kebetulan juga pada malamnya akan ada pertemuan rutin anggota Serikat PRT yang ada di perumahan itu. Saya pun diajak untuk ikut dalam pertemuan itu agar melihat langsung kegiatan yang dia ceritakan. Alhasil, walau masih dengan keraguan di hati, saya pun memberanikan diri untuk mengikuti kegiatan di sekolah PRT dan Serikat PRT, yang terpusat di Nitikan Baru, Yogyakarta.

Saat pertama datang di tempat peserta sekolah, muncul perasaan yang bermacam-macam. Meskipun isi ruangan tersebut adalah PRT-PRT, saya merasa asing, tidak percaya diri, gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba kepala sekolah meminta saya untuk memperkenalkan diri. Dengan hati yang gemetar, saya menyebutkan nama dan wilayah asal. Ini adalah pertama kali saya berbicara di depan umum.

Sejak itu, saya mengikuti proses sekolah PRT. Tapi saya lebih banyak mendengarkan. Saya pun berusaha memahami berbagai materi pelajaran yang disampaikan. Ketika pemateri menyampaikan pelajaran, saya seringkali mengalami kebingungan. Selain itu, saya juga merasa tidak mudah bergaul dengan orang baru. Ketika pulang, saya pun menyampaikan kabar mengikuti sekolah PRT tersebut ke orang tua. Tapi, waktu itu, saya menyebutnya kursus untuk PRT.

Dari hari ke hari, sambil bekerja sebagai PRT saya mengikuti sekolah PRT. Tak terasa, saya telah mengikuti kegiatan sekolah PRT kurang lebih enam bulan. Materi yang saya ikuti tidak hanya tentang kemampuan PRT seperti memasak, cara membersihkan yang benar, mencuci pakaian, menyetrika, mengasuh anak (baby sitter); merawat lansia, dan orang berkebutuhan khusus, tapi tentang pendidikan kritis.

Nah, dalam pendidikan kritis itu, saya belajar tentang advokasi, tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kesehatan reproduksi, tentang berserikat, pengorganisasian, Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG), perdagangan orang (trafficking), dan lain-lain.

Pendidikan kritis juga melatih agar kami terlibat mengawal kasus. Kami mengawal kasus-kasus PRT bersama jaringan. Tak jarang, pengawalan kasus hingga Pengadilan Negeri. Ketika kasus PRT diproses di Pengadilan Negeri, kami harus rela bolak-balik. Kadang, putusan Pengadilan Negeri tidak memenangkan kasus PRT. Tapi, kami terus menjalaninya.

Jadi, pendidikan di sekolah PRT itu tidak hanya teori tapi langsung praktik lapangan.

Biasanya, pendidikan sekolah PRT dilakukan pada Senin hingga Jumat. Pada Sabtu dan Minggu biasanya diisi keterampilan lain, seperti belajar komputer, menulis, teater, belajar mengendarai mobil dan sepeda motor.

Selain itu, ada pula kegiatan kerja bakti. Nah, kegiatan kerja bakti ini biasanya membersihkan seluruh halaman dan ruangan sekolah. Karena, di sekolah PRT itu disediakan kamar untuk para peserta pendidikan. Kami menyebutnya asrama. Asrama itu diperuntukkan bagi peserta yang sedang tidak bekerja atau libur kerja atau calon PRT yang datang dari kampung nan jauh di luar kota, bahkan ada yang datang dari luar pulau Jawa.

Dari sekolah PRT, kegiatan dilanjutkan ke Serikat PRT Tunas Mulia. Di Serikat PRT Tunas Mulia, saya menyadari betapa banyak persoalan yang dihadapi PRT. Awalnya, saya mengira, bukan sebuah masalah ternyata itu masalah. Misal, tidak mendapat libur mingguan atau sebulan sekali pulang kampung hanya diberi waktu 24 jam, saat Hari Raya hanya mendapat bingkisan kue nastar satu kaleng dan sirup satu botol tanpa tambahan apapun, dan masih banyak persoalan lain. Ternyata, itu semua adalah masalah yang dihadapi PRT. Karena PRT adalah pekerja maka semestinya diperlakukan seperti pekerja.

Saya mengikuti pendidikan sekolah PRT kurang lebih enam bulan. Saya termasuk angkatan pertama di sekolah tersebut.

Saya melanjutkan untuk bekerja sebagai PRT sambil tetap mengikuti kegiatan di Serikat PRT Tunas Mulia. Karena selain ada pendidikan di sekolah PRT untuk mempersiapkan PRT bekerja, Serikat PRT Tunas Mulia dan RTND juga melakukan pendampingan yang diisi dengan diskusi untuk penguatan kapasitas PRT dan juga keterampilan terhadap anggota serikat yang berkelompok. Anggota serikat yang berkelompok ini dinamakan dengan Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata). Operata dibentuk di sekitar wilayah kerja setiap PRT.

Di tengah kesibukan menjadi PRT dan berorganisasi, timbul keinginan dalam hati untuk kuliah. Tapi keinginan itu saya simpan dalam hati. Lagi pula saya tidak tahu akan kuliah di mana; dan bagaimana cara membiayainya. Sambil mencari informasi tempat kuliah, perlahan, sedikit demi sedikit saya menyisihkan setiap upah yang saya terima sebagai tabungan.

Sekali waktu, di sebuah acara, saya bertemu dengan seorang teman, yang bukan PRT. Dia sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Dia menginformasikan bahwa tempat kuliah tersebut ada jam kuliah di siang hari hingga sore.

Informasi tersebut semakin mengganggu pikiran saya untuk segera masuk di perguruan tinggi itu. Tapi, saya masih ragu, apakah mungkin saya dapat mengikuti kegiatan perkuliahan tersebut. Sembari memantapkan hati saya terus menabung untuk segera mendaftar kuliah.

Akhirnya, saya merasa yakin untuk kuliah. Pada akhir 2006, saya resmi mendaftar kuliah. Saya memilih jurusan di fakultas hukum. Saya benar-benar menyiapkan mental untuk kuliah. Bukan sekadar keuangan yang saya siapkan, tapi mental; jika suatu saat ada yang mencibir, PRT kok kuliah? Atau saya merasa sombong karena mampu berkuliah. Sekali waktu saya mengatakan ke salah satu mantan staf RTND, “Jo, jika suatu saat saya sudah bisa kuliah dan ternyata sombong. Saya minta dengan sangat Jo atau bisa minta tolong teman lain menegur saya atas sikap yang tidak baik itu.” Jo pun menyetujui permintaan saya.

Ternyata, menjadi PRT dan bisa melanjutkan kuliah itu tetap saja tidak menjadi nilai positif di mata majikan, meskipun majikan itu bukan majikan saya. Kala itu ada teman PRT yang menyampaikan percakapan dia dengan majikannya tentang diri saya yang mampu berkuliah. Majikan tersebut berkomentar, “Pembantu saja kok kuliah. Pembantu ya pembantu,” tukas majikan tersebut seperti ditirukan teman saya. Komentar itu membuat dada saya sesak. Saya berusaha menguatkan diri agar tidak berkecil hati. Saya berusaha membuktikan diri bahwa PRT pun mampu berkuliah.

Dengan upah sebagai PRT sebesar Rp 250 ribu per bulan, saya berusaha menyisihkan untuk membayar kuliah. Kala itu, biaya semester Rp1 juta per semester. Di sela-sela kuliah, saya bekerja sebagai PRT. Saya juga aktif di Serikat PRT. Pada 2010, saya lulus kuliah.

Sebenarnya, harapan belajar di fakultas hukum tidak muluk-muluk. Saya hanya menginginkan diri menjadi lebih baik. Setidaknya dapat memberikan energi positif kepada diri sendiri dan orang-orang di sekitar untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain atau melanggar hukum. Pepatah mengatakan, ‘mencegah itu lebih baik daripada mengobati’. Begitu juga dengan perilaku diri sendiri.

Sebagai upaya memberikan energi positif ke orang lain, saya pun menjadi salah satu tutor atau guru di lembaga Pendidikan Kesetaraan Lembaga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Griya Mandiri Yogyakarta (Kejar Paket A, B dan C, setingkat SD, SMP, SMA). Saya juga bergabung dengan seorang Konsultan dalam Program Perbaikan Sekolah – Peningkatan Kapasitas Sekolah dan Partisipasi Masyarakat dalam rangka Perbaikan Mutu Pendidikan Dasar di Kalimantan Selatan; gabung menjadi Tim Satuan Tugas (Satgas) dalam upaya Penanggulangan – Pencegahan terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Kota Yogyakarta.

Pekerja Rumah Tangga Bukan Pembantu

Serikat PRT merupakan wadah perjuangan bersama teman-teman PRT. Melalui Serikat PRT tersebut, kami berjuang agar PRT saling memberikan semangat dan memperjuangkan hak-haknya. Masalahnya, bekerja sebagai PRT tidak mendapat perhatian dari negara. Hukum positif, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan, belum mampu melindungi dan menjangkau hak-hak PRT. Undang-Undang tersebut masih terbatas memberikan perlindungan bagi buruh formal di sektor industri.

Saya ingin menginformasikan. Di kalangan umum, PRT sering disebut pembantu. Di media massa istilah pembantu dihaluskan menjadi asisten, tapi tidak memperbaiki nasib PRT. Tapi, untuk diketahui, sejak 2003, kami berjuang agar istilah pembantu diganti dengan pekerja. Negara maupun majikan tidak mengakui PRT sebagai pekerja.

Pada umumnya, PRT bekerja melebihi jam kerja normal,istirahat yang tidak menentu, tidak memiliki waktu libur, tidak memiliki standar upah minimum, sewaktu-waktu dapat diberhentikan majikan tanpa alasan yang masuk akal, jika dipecat tidak mendapat pesangon. Selain itu, PRT pun rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. PRT pun rentan menjadi korban perdagangan orang dan bentuk-bentuk perbudakan modern lainnya.

Serikat PRT, bersama jaringan lokal membangun Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) DIY. Pada 2004 merintis dan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bagi PRT di Kota Yogyakarta. Di antara isi Raperda tersebut adalah pengakuan hak PRT untuk mendapat hari libur satu hari dalam seminggu, jam istirahat yang jelas, upah yang layak, beban kerja yang jelas, jam kerja yang jelas, cuti, upah lembur, hak untuk berorganisasi, fasilitas yang layak, jaminan keselamatan kerja dan mendapat perjanjian kerja.

Raperda tersebut disambut baik oleh Walikota Yogyakarta H. Hery Zudianto. Hery Zudianto mendukung Raperda tersebut. Pada 2007, Draf Raperda tersebut sempat dibahas di DPRD Kota Yogyakarta.

Untuk mendesak agar PRT mendapat perlindungan hukum, kami, para PRT dan Serikat PRT memperjuangkan Raperda tersebut. Kami melakukan pertemuan demi pertemuan membahas draft Raperda. Dalam setiap pertemuan kami meminta pendapat dari teman-teman PRT, majikan hingga ke masyarakat umum. Selain itu, kami pun melakukan aksi massa, melakukan audiensi dan hearing dengan para pejabat yang berkepentingan tentang draft Raperda. Akhirnya, pada 2010, Gubernur DIY mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga. Pada 2011, Walikota Yogyakarta pun mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 48 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga.

Tidak hanya di Yogyakarta, kaum PRT di wilayah lain berjuang agar mendapat perlindungan. Pada 2004, melalui Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), kami mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT). Sebagai PRT yang sudah berserikat saya dan teman-teman PRT terlibat dalam advokasi untuk pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT.

Perjuangan mendesak agar RUU PPRT disahkan menjadi UU PRT merupakan perjuangan panjang. Penyelenggara negara enggan untuk mengesahkan UU PRT. Harapan RUU PPRT yang diajukan ke DPR agar bisa segera dibahas dan disahkan ternyata sangatlah sulit. Karena para pihak yang membahas rancangan peraturan tersebut pada dasarnya adalah para majikan.

Sejak 2004 hingga 2009 RUU PPRT masuk Prolegnas. Tapi belum ada pembahasan. Pada 2010, RUU PPRT masuk Prolegnas kembali tapi tidak ada pembahasan. Pada 2011, RUU PPRT masuk prioritas Prolegnas. Komisi 9 membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT. Pada 2012-2013 terjadi pembahasan oleh Panja RUU PPRT Komisi 9. Mereka pun melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Tahun 2013 RUU PPRT masuk ke Baleg untuk Harmonisasi. Tahun 2014 Baleg menghentikan Pembahasan. Tapi, RUU PPRT tidak lagi masuk Prolegnas.

Karena Badan Legislasi (Baleg) menghentikan pembahasan maka saya dan empat teman saya (Sargini, Lita Anggraini, Ririn Sulastri, Haryati) serta teman-teman lain yang tergabung dalam JALA PRT berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Senayan pada November 2014.

Aksi massa kala itu tidak hanya orasi-orasi, membawa peralatan aksi, poster dan spanduk, tetapi mogok makan. Kami melakukan mogok makan sebagai bentuk protes terhadap negara yang lalai terhadap kepentingan warganya. Bagi saya pengalaman waktu itu merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan. Dan, kami senang menjalaninya. Saat itu, kami menuntut agar RUU PPRT dimasukkan ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Selain itu, kami pun mendesak agar parlemen segera membahas dan mengesahkan rancangan tersebut.

Esoknya, teman-teman jaringan berkomunikasi dengan salah satu politikus di senayan agar peserta aksi diizinkan bertemu dengan Komisi IX DPR. Pada hari yang sama ternyata datang rombongan besar, yaitu kawan buruh manufaktur yang juga melakukan aksi massa. Mereka menuntut kenaikan upah. Mereka pun memberikan dukungan terhadap perjuangan untuk perlindungan PRT. Dari orasi-orasi yang disampaikan, serikat-serikat buruh manufaktur memberikan semangat kepada kami, bahkan mereka melakukan saweran atau iuran untuk membantu biaya perjalanan kami pulang ke Yogyakarta. Saya merasa senang dan terharu dengan dukungan dari serikat-serikat buruh Manufaktur.

Kontak dengan Komisi IX DPR RI pun terjadi. Kami dipersilakan untuk bertemu. Kami menyampaikan aspirasi kami. Kami pun segera keluar dan menemui peserta aksi lainnya dan berbagi hasil audiensi. Kali ini aksi mogok makan hanya berlangsung dua hari. Kami segera berbenah dan kembali ke lembaga masing-masing. Sedang peserta dari Jogja singgah di kantor JALA PRT. Esok harinya kami menuju Stasiun Pasar Senen untuk segera menuju Yogyakarta.

Babak selanjutnya adalah masuknya RUU PPRT menjadi Prolegnas Prioritas. Masuknya RUU PPRT menjadi Prolegnas Prioritas merupakan hasil desakan publik, yang dikoordinasikan oleh Jala PRT. Pada 1 Juli 2020, Baleg memplenokan RUU PPRT menjadi Inisiatif Baleg. Sayangnya, pada 2021, Fraksi Golkar dan PDIP menolak RUU PPRT masuk Prolegnas. Mereka menganggap RUU PPRT belum mendesak untuk dibahas.

Pada Januari 2023 terdapat perkembangan yang cukup bagus. Pada 18 Januari 2023, Presiden RI Joko Widodo dalam pidatonya memberikan dukungan atas pentingnya perlindungan bagi PRT di Indonesia. Setelah pidato tersebut, KSP (Kantor Staf Presiden) membentuk gugus tugas percepatan RUU PPRT. Presiden pun memerintahkan dua menteri untuk berkoordinasi dengan DPR perihal RUU PPRT.

Pada 21 Maret 2023, melalui Rapat Paripurna DPR RI, RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Kabar tersebut merupakan kegembiraan tersendiri buat kami. Namun, kegembiraan tersebut belum dapat dirasakan seutuhnya. Hingga Oktober 2023, ternyata, belum ada pembahasan RUU PPRT oleh DPR RI.

Mendesak agar DPR RI segera membahas mengenai RUU PPRT, serikat-serikat PRT, yang dikoordinasikan oleh Jala PRT, beserta organisasi sipil lainnya melakukan gerakan bersama. Di antaranya, kami membuat Aksi Rabuan, yang dilakukan serentak di berbagai wilayah di antaranya di depan DPR RI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, DPRD Sumatera Utara, DPRD Sulawesi Selatan, DPRD Semarang dan DPRD Yogyakarta.

Sejak 14 Agustus 2023, kami pun melakukan aksi massa serentak di seluruh wilayah melakukan aksi harian, seperti Aksi Mogok Makan Desak UU PPRT. Pada 31 Oktober 2023, aksi massa memasuki hari ke-78. Bersamaan dengan itu pula, Jala PRT bekerjasama dengan Konde.co membuat film kampanye dengan judul “Mencari Mbak Puan” yang diluncurkan pada Kamis, 12 Oktober 2023 di depan gedung DPR RI, Jakarta.

Selain dengan aksi mogok makan, kami dari perwakilan Serikat PRT menjadi bagian tim kampanye JALA PRT. Di antara tugas tim kampanye adalah membuat bahan kampanye berupa poster, video dan captionnya. Bahan kampanye tersebut diposting secara bergilir oleh 43 orang di media sosial, seperti Instagram, Facebook, Whatsapp, Twitter dan lain-lain. Upaya ini untuk menyebarkan informasi ke masyarakat luas terkait permasalahan PRT.

Pada awal Oktober, Partai Buruh dideklarasikan. Partai yang didirikan pada 1998 ini, kini tampil dengan wajah dan kepemimpinan baru. Sebagai bagian dari upaya merebut hak PRT agar diakui sebagai pekerja, JALA PRT pun bergabung dengan Partai Buruh. Saya pun diberikan mandat untuk mendaftar sebagai Calon Legislasi (Caleg) DPR RI. Saya akan bertarung dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 14 Februari 2024.

Memasuki dunia politik memang tidak terbayangkan dan tidak pernah direncanakan oleh saya. Tapi, sepertinya, jalan ini harus saya tempuh mengingat perjuangan mendapat perlindungan negara kerap terganjal di dewan perwakilan rakyat.

Meski awalnya muncul rasa enggan, namun ketika tugas itu diletakkan di pundak saya, saat itu juga saya harus semaksimal mungkin melakukan upaya layaknya Caleg yang lain untuk bisa menjadi wakil rakyat. Namun demikian, sepenuh hati saya menyadari bahwa tidak mudah untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Entahlah, hasilnya seperti apa tidak saya jadikan beban. Kita tunggu, yang terpenting apapun dilakukan agar PRT segera memiliki perlindungan hukum.

Demikian. Pertempuran kecil masih berlangsung dan perang masih panjang dan tidak akan pernah selesai selama masih ada penindasan dan belum ada perlindungan bagi PRT.

*Tentang Penulis Jumiyem, yang dikenal sebagai Lek Jum, adalah seorang advokat terkemuka untuk hak-hak pekerja rumah tangga. Ia aktif dalam serikat pekerja rumah tangga Tunas Mulia dan Jaringan Advokasi Nasional untuk Hak-hak PRT (JALA PRT). Ia memegang peran penting di Tim Advokasi/Kampanye dan Tim Kampanye Media, di mana ia mendorong berbagai inisiatif penting untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia.

Unseen, Now Heard: My Journey as a Domestic Worker in Indonesia

By Jumiyem*

An Inner Struggle

Just call me Lek Jum, a shortened version of the name my parents gave me, “Jumiyem”. I am 49 years old and the seventh of nine children born to Ahmat Mustam, also known as Jumari, and Juminten, both of whom have passed away. I grew up in a remote village on the outskirts of a forest in Bantul, Yogyakarta, Indonesia, where the land was dry and barren.

At that time, our village’s social conditions did not encourage higher education, especially for women. Most women only attended elementary school, and among the hundreds in our community, only a handful had the opportunity to continue to junior high, senior high, or university.

In the area where I lived, most of the community were farmers who relied on rain-fed agriculture, meaning they could only plant during the rainy season. During the dry season, the rice fields lay barren, and water sources—found in the rivers—dried up. When water remained, it was barely enough for bathing and drinking. Even then, we had to queue for long hours in the morning or evening to fetch it. The rivers, once vital lifelines, revealed only white, sun-bleached stones.

My parents were farmers, but in between tending the land, they also worked as furniture craftsmen, creating household items such as tables, chairs, cupboards, doors, windows, beds, and dish racks. They made each piece using wood from their own land—either from the garden near our home or from fields farther away. Every step of the process was done manually.

Trees were felled and carried on their shoulders to the yard, where the wood was elevated above head height and cut using a large, long saw. To slice the heavy logs, one person stood atop, steadying the wood and guiding the saw, while another worked below, pulling the blade downward along the marked line. Once the wood was shaped, the furniture-making process would take a month.

When the pieces were finally ready, buyers would come to our home to take them for sale in the city. Payment was never immediate—we had to wait until the furniture was sold, sometimes for several days.

This situation made me wonder how I could help ease my family’s financial burden. But as a junior high school student, I had no clear answer yet. One day, while washing dishes at home, a thought crossed my mind: Should I become a dishwasher to earn a wage? But where? The question came and went, lingering only for a moment before fading into the background.

After graduating from junior high, I felt restless, uncertain about my future. Continuing my education was out of reach due to our family’s financial limitations, especially with two younger siblings still in school who required more attention and resources. I wondered whether I should get married, even though I was still so young. Many of my friends had already married—some right after elementary school—but I had yet to find an answer for myself.

With no income, I spent my days at home, helping with household chores when needed. My assistance was especially valuable when Ramak (my father) and Simbok (my mother) were occupied with farming or furniture-making. Simbok played an active role in the craft, helping to saw and prepare materials. I take great pride in my parents, who never complained and always maintained a harmonious, faithful household, even though they had an arranged marriage.

Becoming a Domestic Worker

Amid my uncertainty, a woman—the mother of a childhood friend—came to my house one morning. She mentioned a job opening at a building supply store in Yogyakarta, where she worked, and invited me to join her. Eager to earn money and start working, I asked my parents for permission to go. At first, they urged me to stay home and continue helping them, but I remained persistent. Eventually, they relented and allowed me to leave.

I remember the night before I left—my heart pounding with anxiety at the thought of leaving home and my parents. I carefully packed my clothes, toiletries, prayer essentials, and the little money I had. At dawn, I set off for Yogyakarta with the woman. My parents, their eyes filled with tears, bid me farewell, whispering prayers for my safety. We walked four kilometers to reach the bus, each step carrying the weight of both fear and hope.

My first experience working in the city was far from pleasant. I had been told I would be employed at a building supply store, but instead, I was tasked with all of my employer’s household chores—washing, ironing, cooking, and mopping. My workday began before dawn, and after finishing my chores, I would join the other workers at the store. If I arrived late, my employer would yell at me.

As a newcomer, I struggled to memorise the locations and prices of the items in the store. Whenever I asked my employer for help with a customer, instead of guiding me, she would scold me and call me stupid. Even my prayer times were disrupted. She would agree to let me pray, but as soon as I reached the prayer spot, she would shout for me to return to the store immediately.

Each day, I endured relentless shouting and insults, never once feeling at ease. My chest tightened with anger and sadness, and my thoughts often drifted to my family—their kindness a stark contrast to the cruelty I faced. I wasn’t alone in this suffering; my five coworkers endured the same mistreatment. After two unbearable weeks, I made the decision to leave.

When I informed my employer that I was leaving, she did not object. However, just as I was about to go, she publicly humiliated me in front of my coworkers and customers by demanding to search my bag. She accused me of theft, but all she found were my personal belongings. The experience was deeply unsettling, a stark reminder of how easily domestic workers can be unfairly suspected and treated as criminals. To make matters worse, I was never paid for the two weeks I had worked.

From Employer to Employer

I pushed aside the frustration of my unpaid wages, focusing solely on leaving that place behind. Instead of returning to my village, I sought refuge at a friend’s home—a friend who had previously quit the same job. I needed to find new work; going home empty-handed was not an option, and I couldn’t bear to let my parents know how much I had struggled.

Within three days, my friend’s sister informed me of an employer seeking a domestic worker to care for their children. Without hesitation, I accepted. The couple explained that my responsibilities would extend beyond childcare to include all household chores. Their older child was in kindergarten, while the younger was still a toddler.

My days revolved around caring for the children. Each morning, I took the older child to and from kindergarten by becak (a traditional three-wheeled rickshaw), then spent the rest of the day tending to the younger one—playing, feeding, bathing, and managing every aspect of childcare. Getting them to take their afternoon naps was often a challenge. Once they finally slept, I shifted to other tasks like ironing. My workday stretched late into the night, ending around 11 p.m. after I had cleaned up the kitchen from dinner. From dawn until midnight, I worked tirelessly, with no days off.

I slept on a small divan near the dining table and bathroom, separated only by a used banner. With no privacy, my sleep was constantly interrupted by people passing through to the kitchen or bathroom at night.

I lasted only three months in that job. Maybe it was because I was still just 15, or perhaps the workload was simply too overwhelming. I longed to go home. Summoning the courage to leave, I informed my employers of my decision. The husband tried to persuade me to stay, even offering to pay for my schooling, but my mind was set. They eventually agreed to let me go, and I felt an immense sense of relief. My brother came to pick me up, and when I finally returned home, my parents greeted me with joy.

Yet after a few months, restlessness crept in again. I couldn’t shake the feeling that I was a burden. When an old school friend invited me to work as a domestic worker in the city once more, I accepted. But just like before, I didn’t last even a month.

Washing, Ironing, and Minding the Store

My journey as a domestic worker began in 1989 in the Yogyakarta area. I changed employers frequently—not out of reluctance to work, but because the conditions were grueling. The long hours, heavy workloads, and constant discomfort made every job difficult. Psychological abuse was common; I was often shouted at or given the silent treatment. Worse still, I suffered sexual violence from a male employer.

The responsibilities were overwhelming. My day started at 4:30 a.m. in the kitchen and didn’t end until 10 or 11 p.m. When my employers were away, the workload was even greater, as I was responsible for the entire household.

In one job, I worked both as a domestic worker and a convenience store attendant. I woke up at 4:00 a.m., rushed through housework, and opened the store by 9:00 a.m. Often, I had to cook while simultaneously minding the store. The shop closed at 9:00 p.m., but my tasks didn’t end there—I had to clean the store, then the kitchen, finally finishing around midnight. With only four hours of rest, exhaustion was relentless. Some nights, after my long hours of labour, my employer would even ask for a massage or kerokan (traditional coin scraping), further pushing my limits.

My wages were always very low, and I almost never had a day off. I was granted only three days of leave for the Eid holiday and was never given the annual bonus (tunjangan hari raya or THR) that I was rightfully entitled to. These conditions forced me to change jobs about ten times. Without legal protection, domestic workers often rely solely on the ‘kindness’ of their employers.

The challenges weren’t just financial—social stigma added to my discomfort. Friends would mock my work, saying, ‘Why work in someone else’s house? It’s better to be in a factory or a company.’ Because of this, I often lied and said I worked in a store or at a food stall.

Yet, amidst the hardships, I found moments of joy. Helping my parents financially gave me a sense of purpose, and the camaraderie among fellow domestic workers was a source of comfort. With them, I could share stories, organise outings, and even learn to read the Qur’an—small but meaningful acts of solidarity that helped me endure.

It was with a relatively kind employer that I finally found the opportunity to continue my education. Though the pay and hours were no different from my previous jobs, they allowed me the freedom to develop myself. The desire to return to school had been one of the main reasons I moved to the city, so I gathered the courage to ask if I could pursue my Senior High School diploma. To my relief, they were supportive—the male employer even shared that he had worked while finishing his own high school education.

I enrolled in a school in Yogyakarta and excitedly shared the news with my parents. Using my monthly salary, I managed to pay for three years of schooling. After graduating, I stayed with that employer for another year before deciding it was time to move on, choosing the Eid holiday as the moment to resign.

Even after earning my diploma, I continued working as a domestic worker. At one point, my sister and I attempted to open a soto (traditional soup) stall, but after a few months, the business failed.

The Domestic Worker School

In 2003, I visited a fellow domestic worker named Tari, who introduced me to the Domestic Workers’ School and the Tunas Mulia Domestic Workers Union—both founded by Rumpun Tjoet Nyak Dien, an organization dedicated to supporting domestic workers. She explained that the school was free and offered education to current, former, and prospective domestic workers. Though hesitant at first, I agreed to attend a union meeting with her.

Stepping into the school for the first time, I felt out of place and nervous, even though everyone there was also a domestic worker. When the head of the school asked me to introduce myself, I spoke before a group for the first time, my voice trembling with uncertainty.

I continued attending the school while working. Over the next six months, I learned not only practical skills such as cooking, cleaning, and childcare but also essential knowledge on human rights, advocacy, gender-based violence, and human trafficking. The education combined theory with hands-on experience; we were directly involved in advocating for domestic worker cases, sometimes all the way to the state court.

On weekends, the school offered skill-building classes, including computer literacy, writing, and driving lessons for both cars and motorcycles. For those between jobs or coming from out of town, the school even provided dormitory accommodations, ensuring that everyone had a safe place to stay while learning.

Through the union, I came to understand that many of the challenges I had faced—like working without days off or receiving only a can of cookies as an annual bonus—were not isolated incidents, but systemic issues. Domestic workers deserved to be recognised and treated as workers, with rights and protections. I was proud to be part of the school’s first graduating class.

While continuing my job and union activities, a deep desire to pursue higher education began to take root. I started saving money, little by little, from my salary and discovered a private university in Yogyakarta that offered afternoon and evening classes.

By the end of 2006, I officially enrolled in the faculty of law. I braced myself not only for the financial burden but also for the judgment of others. A maid going to college? The skepticism wasn’t just imagined—a friend’s employer bluntly remarked, ‘Just a maid, yet she goes to college. A maid is a maid.’ The comment was painful, but instead of discouraging me, it fueled my determination. I was committed to proving that a domestic worker could succeed in higher education. With a monthly salary of Rp 250,000 (around 16 USD), I somehow managed to pay my tuition of Rp 1 million (around 60 USD) per semester, and in 2010, I graduated.

My pursuit of education wasn’t just about personal advancement—it was about making a difference. I became a tutor for equivalency education programs and joined task forces focused on preventing violence against women and children, using my experience and knowledge to support others in their struggles.

Domestic Worker, Not Servant

Through the Domestic Workers Union, we fight for our rights and support one another. Domestic work remains largely unprotected under labour laws, which focus solely on the formal sector. The term commonly used to describe us—pembantu (servant)—reinforces inequality. While the media may soften it to “assistant,” it does nothing to change our reality. Since 2003, we have fought to replace this term with pekerja (worker), yet neither the state nor employers recognise us as such.

Domestic workers often endure excessive hours with no scheduled breaks, no days off, no minimum wage, and the constant risk of being fired without reason or severance pay. Beyond unfair working conditions, we are highly vulnerable to physical, psychological, and sexual violence, as well as human trafficking and modern slavery.

In 2004, our union, alongside the Domestic Worker Protection Network, began advocating for a Regional Regulation to protect domestic workers in Yogyakarta province. The proposed regulation outlined essential rights, including a weekly day off, defined working and rest hours, fair wages, and written contracts. After years of persistent advocacy, including mass actions and hearings, we secured a Governor’s Regulation in 2010, followed by a Mayor’s Regulation in 2011.

The struggle for domestic worker rights at the national level has been even longer. In 2004, the National Network for Domestic Worker Advocacy (JALA PRT) submitted a draft for the Domestic Worker Protection Bill (RUU PPRT) to the House of Representatives. Though repeatedly included in the National Legislation Program, the bill has seen little progress—often because many lawmakers themselves employ domestic workers.

In November 2014, after yet another delay, four fellow advocates (Sargini, Lita Anggraini, Ririn Sulastri, Haryati), and I from JALA PRT staged a hunger strike in front of the parliament building in Senayan, Jakarta. Our protest demanded that the bill be prioritised and enacted in 2015. Support poured in from industrial labour unions, some of whom even collected donations to help fund our journey home to Yogyakarta. Ultimately, we secured a meeting with the National Parliament.

After years of pressure, on March 21, 2023, the bill was finally declared a Parliament Initiative Bill (that is proposed by the House of Representatives as a whole legislative institution) following a supportive speech from President Joko Widodo in January 2023. Yet, by October 2023, there was still no further discussion.

In response, JALA PRT and other civil society organisations intensified their actions—holding continuous protests in several regions simultaneously (Jakarta, North Sumatra, South Sulawesi, Semarang, Yogyakarta), including the “Wednesday Action” and a daily hunger strike that lasted for months. In collaboration with Konde.co, we also launched a film campaign, Mengejar Mbak Puan (“Chasing Sister Puan”), to raise awareness. As Speaker of the Indonesian House of Representatives, Puan Maharani was among those significantly responsible for delays in the legislative process.

As part of this ongoing struggle, JALA PRT joined the newly formed Labour Party, and I was given the mandate to run as a legislative candidate in the 2024 general election. Politics was never part of my plan, but it became a necessary path when the fight for protection continued to be obstructed by lawmakers. I do not know what the outcome will be, but what matters most is doing whatever it takes to ensure domestic workers finally receive the legal protections they deserve.

The small battles continue, and the larger fight endures. As long as domestic workers remain unprotected and oppression persists, the struggle must go on.

*About the author
Jumiyem, known as Lek Jum, is a leading advocate for domestic worker rights, actively involved with the Tunas Mulia domestic workers’ union and the National Advocacy Network for Domestic Worker’s Rights (JALA PRT). She holds vital positions on both the Advocacy/Campaign Team and the Media Campaign Team, where she drives significant initiatives for the Domestic Worker Protection Law in Indonesia.

This blog post is also available in Bahasa Indonesia (original language)